Pada zaman dahulu kala, seorang dewa yang menguasai wilayah Kazusa, Shimousa dan wilayah sekitarnya (sekarang Prefektur Chiba), menanam sebutir benih pohon tsubaki. Benih itu kecil sekali, hingga kalau saja ada angin berhembus, meski tak kencang, pasti akan terbawa terbang. Karena tumbuh di daerah yang subur, maka benih tersebut tumbuh menjadi tunas dan lambat laun menjadi sebuah pohon yang besar.

Singkat cerita, selama 88000 tahun pohon tsubaki tersebut tumbuh menjadi pohon yang tinggi dan besar. Karena begitu tingginya, ujung pohon tersebut sampai menembus awan dan hampir-hampir mencapai langit. Cabang dan daun-daun pohon yang lebat tersebut memanjang hingga mencapai kira-kira tiga buah desa. Ketika bunga-bunga tsubaki yang berwarna merah itu bermekaran, langit di atasnya pun berubah menjadi merah. Sebaliknya, saat bunga-bunga tersebut berguguran ke bumi, warna bumi pun menjadi merah. Namun demikian, penduduk yang tinggal di sekitar pohon tsubaki tersebut bersyukur karena tanah pertaniannya selalu subur. Mereka hidup dengan tentram dan sentosa.

Sampai pada suatu hari, entah dari mana asalnya dan sejak kapan datangnya, tiba-tba saja di atas pohon tersebut telah tinggal seorang raksasa yang jahat. Keberadaan raksasa jahat tersebut membuat penduduk ketakutan. Jika malam tiba, suara tawa raksasa yang menyeramkan tersebut membahana, terbawa oleh hembusan angin hingga berpuluh-puluh kilometer. Mendengarkan suaranya saja anak-anak kecil akan menangis ketakutan dan burung-burung yang sedang bertengger di atas pohon akan menjadi kaku dan jatuh ke tanah. Gerakannya saja bisa membuat angin kencang yang siap memporak-porandakan atap rumah para penduduk. Bau nafasnya bisa membuat tanaman layu dan mati. Binatang ternak dan bahkan manusia sekalipun bisa dibuatnya pingsan. Keberadaan raksasa jahat itu telah membuat penduduk desa sangat ketakutan dan tidak berani keluar rumah. Akibatnya banyak lahan pertanian yang terbengkelai dan binatang ternak tidak mendapatkan makanan yang cukup.

Kejadian ini membuat dewa-dewa di kerajaan langit sedih dan marah. Mereka akhirnya mengutus puluhan ribu bala tentara untuk mengusir raksasa jahat tersebut. Bala tentara tersebut diperintahkan untuk mengepung pohon tsubaki tersebut dari bawah. Mereka berteriak ramai-ramai sambil mengacung-acungkan tombak maupun pedangnya. Beberapa pasukan panah juga telah melepaskan anak panahnya ke atas pohon. Tentu saja hal ini membuat sang raksasa terkejut bukan kepalang. Melihat dirinya sudah dikepung dari seluruh penjuru mata angin, ia jadi marah. Ia lalu menggoyang-goyangkan pohon itu dari atas.

Goyangan pohon yang keras tersebut menimbulkan bunyi gemuruh dan gempa yang dahsyat di atas tanah. Para prajurit pun lari tunggang langgang dibuatnya. Namun, bukan itu saja yang dilakukan oleh sang raksasa. Ia kemudian melompat turun ke tanah hingga menimbulkan bunyi bedebam yang luar biasa kerasnya. Bumm! Ia lalu memeluk batang pohon tsubaki yang besar tersebut. Dengan sekuat tenaga ia lalu mencabut pohon tersebut dan melemparkannya ke arah laut. Ketika pohon tersebut tercebur ke laut, percikan air laut naik sangat tinggi dan jatuh kembali seperti air terjun yang deras, sebagian percikan tersebut jatuh kembali ke laut dan sebagian lagi membanjiri ketiga desa tempat asal pohon tsubaki tersebut. Sang raksasa lalu melompat ke atas batang pohon yang mengambang di laut itu dan pergi entah kemana.

Sementara itu banjir besar yang melanda tiga desa itu akhirnya surut. Airnya tertampung di lubang bekas tercabutnya pohon tsubaki hingga membentuk sebuah danau yang lebar. Sang raksasa yang pergi itu tidak pernah kembali lagi, dan kehidupan desa tersebut berangsur-angsur tenang kembali. Oleh penduduk desa, danau baru tersebut diberi nama Danau Tsubaki.

Beribu-ribu tahun setelah kejadian itu, tepatnya ketika Zaman Edo, datanglah seorang saudagar yang bernama Shiraishi Jiroemon. Saudagar itu ingin membuka lahan pertanian di daerah tersebut. Namun, karena ada danau yang luas, maka ia memerintahkan para pekerjanya untuk menguras danau tersebut dan membuangnya ke laut. Daerah bekas danau tersebut akhirnya kering dan mulailah dibuka lahan pertanian yang luas. Daerah tersebut kini bernama Higata. Karena kesuburan tanahnya, daerah Higata banyak ditumbuhi pohon tsubaki. Saat musim semi tiba, daerah tersebut berubah menjadi merah laksana bunga pohon tsubaki yang berusia 88000 tahun.

——————————————————————————–

Judul asli: Hachiman Hassen no Tsubaki yang berasal dari Prefektur Chiba.
http://dongengjepang.wordpress.com/2008/01/11/pohon-tsubaki-berusia-88000-tahun/

 
Konon, di sebuah desa di perbukitan ada seorang anak gadis yang sangat cantik dan mempesona. Anak gadis tersebut bernama Oryu. Dia mempunyai kebiasaan untuk mengunjungi sebuah pohon oak besar yang tumbuh di atas bukit dekat desanya. Dia percaya bahwa pohon oak besar tersebut mempunyai roh penghuni. Ia sering datang ke tempat itu untuk memberikan persembahan.

Suatu saat Oryu bertemu dengan seorang pria muda yang tampan. Oryu dan pria muda tersebut saling jatuh cinta. Sebenarnya, pria tampan tersebut merupakan penjelmaan dari roh penghuni pohon oak besar yang selama ini ia kunjungi. Sejak saat itu, kebiasaan untuk mengunjungi pohon oak besar di atas bukit dihentikan. Sebagai gantinya Oryu dan pria tersebut saling bertemu di desanya. Pada saat malam ketika Oryu dan pria itu tidak bisa saling bertemu, angin akan berhembus daro arah bukit dengan membawa serta bau harum pohon dan beberapa lembar dauh pohon oak sampai ke jendela kamarnya.

Pada suatu hari, wajah sang pria kelihatan begitu sedih. Oryu memberanikan diri untuk bertanya.

“Hari ini engkau kelihatan sedih, ada apa gerangan?” tanya Oryu penuh perhatian.

“Setelah saat ini mungkin aku sudah tidak akan bisa lagi bertemu denganmu” kata sang pria dengan sedih.

“Kenapa kau bilang begitu? Ada apa? Kenapa kita tidak bisa bertemu lagi?” tanya Oryu agak bingung.

Tetapi sang pria tidak menjawabnya. Ia diam seribu bahasa.

Saat itu tersebar berita bahwa para bangsawan di Istana Kyoto akan membangun sebuah istana baru yang sangat besar. Karena itu mereka membutuhkan bahan kayu yang besar dan banyak pula. Di tempat lain tidak ada pohon oak yang sebesar yang ada di atas bukit itu. Keliling pohon oak di atas bukit itu sepanjang kurang lebih tiga meter, sudah pasti ia akan ikut ditebang untuk pembangunan istana di Kyoto.

Beberapa hari kemudian, akhirnya kekhawatiran sang pria menjadi kenyataan. Beberapa orang petugas penebang pohon berdatangan ke atas bukit. Mereka menyiapkan kapak yang besar-besar dan gerobak untuk mengangkut kayu pohon. Karena pohon oak tersebut sangat besar, maka waktu 1-2 hari tidak cukup untuk dapat merobohkannya. Namun, selain itu ada hal aneh yang terjadi. Setiap kali para penebang pohon itu menebang beberapa bagian batang pohon, keesokan harinya bekas tebangan tersebut telah hilang. Tidak ada bekas luka tebang pada pohon tersebut. Para penebang tersebut sangat bingung, berhari-hari mereka berusaha untuk menebang pohon oak tersebut tapi belum juga berhasil.

Sesungguhnya, setiap malam ketika para penebang itu tertidur, angin kencang bertiup ke arah pohon oak tersebut. Hembusan angin yang kencang itu membawa terbang serpihan-serpihan kayu bekas tebangan. Kemudian serpihan-serpihan kayu tersebut dihembuskan angin dan menempel kembali ke luka bekas tebangan. Demikianlah, akhirnya pohon tersebut utuh kembali keesokan harinya.

Setelah merasa frustasi dan bingung, pada suatu hari datanglah salah seorang istri penebang kayu. Dia mengatakan bahwa semalam bermimpi mengenai pohon oak tersebut. Dalam mimpinya ia mendapat petunjuk cara menebang pohon besar itu. Menurut petunjuk mimpi tersebut, setiap kali menebang pohon itu, serpihan-serpihan kayunya harus dikumpulkan dan langsung dibakar. Demikian seterusnya hingga serpihan kayu terakhir saat pohon tersebut roboh. Akhirnya, para penebang pun mencoba melakukan pekerjaannya sesuai petunjuk dalam mimpi tersebut. Dan ternyata berhasil. Pohon oak yang kelilingnya tiga meter itu dapat ditumbangkan. Setelah memotong batang pohon itu menjadi beberapa potong, para penebang itu lalu menaikkan ke atas gerobak. Namun hal aneh terjadi lagi. Gerobak pembawa pohon oak tersebut tidak bisa digerakkan maju. Akhirnya pimpinan penebang itu mengusulkan agar mereka meminta tolong Oryu di desa karena Oryu yang selama ini memberi persembahan kepada sang pohon. Mungkin roh penghuni pohon itu akan mau menuruti perkataan Oryu. Setelah Oryu berada di depan gerobak, maka gerobak itupun mau berjalan hingga ke Kyoto. Tidak beberapa lama kemudian, istana baru di Kyoto berhasil dibangun dengan sempurna

——————————————————————————–

Judul asli: Oryu Yanagi (Pohon Oak Oryu) berasal dari Prefektur Hyogo. Tema cerita tentang roh penunggu pohon atau benda-benda alam lainnya sangat banyak di kalangan masyarakat Jepang yang agraris.


http://dongengjepang.wordpress.com/2008/01/26/anak-gadis-yang-jatuh-cinta-pada-pohon-oak/
 
Pada zaman dahulu terdapatlah seorang pemuda pencari kayu bakar yang baik hati. Pada suatu hari ketika ia sedang dalam perjalanan pulang dari mencari kayu bakar, ia mendengar suara rintihan binatang dari balik semak-semak. Setelah diperiksanya ternyata seekor anak rubah sedang terperangkap kakinya dalam perangkap pemburu. Karena merasa kasihan, maka dilepaskannyalah kaki sang anak rubah itu dari perangkap. Dan anak rubah itupun segera lari menjauh.

Beberapa hari kemudian, ketika ia sedang dalam perjalanan pulang dari mencari kayu bakar, tiba-tiba dari arah depan datanglah seekor anak rubah mendekatinya. Setelah diamati benar-benar, ternyata ia adalah rubah yang ditolongnya beberapa hari yang lalu.

Rubah itu mengajak sang pemuda untuk mengikutinya. Setelah beberapa lama ia mengikuti sang anak rubah, sampailah ia di sebuah lubang dalam tanah. Dari dalam lubang itu muncul ibu sang rubah kecil tadi. Dengan membungkuk sopan sang ibu rubah berkata, “Terima kasih atas pertolongan Anda beberapa waktu yang lalu. Sebagai tanda terima kasih kami, tolong terimalah tudung kepala tua ini!” kata sang ibu rubah sambil menyerahkan sebuah tudung kepala yang sudah usang.

Dalam perjalanan pulang, karena merasa sangat dingin, maka sang pemuda mengenakan tudung pemberian ibu rubah itu dikepalanya. Tiba-tiba, saat ia sedang berjalan di bawah pohon ia bisa mendengar suara burung pipit yang sedang bercakap-cakap di atas pohon. “Oh, ini mungkin karena aku memakai tudung kepala ajaib ini!” kata sang pemuda sambil terus mendengarkan percakapan kedua burung pipit tersebut.

“Yang disebut manusia itu sepertinya pintar, tapi ternyata benar-benar bodoh ya! Batu di tengah-tengah sungai yang setiap kali diinjaknya itu kan sebenarnya bongkahan batu emas, tapi kenapa mereka tidak menyadarinya ya?” kata burung pipit tersebut.

Mendengar hal tersebut sang pemuda segera menuju sungai yang biasa ia lewati. Di tengah-tengah sungai tersebut memang terdapat sebongkah batu yang biasanya digunakan sebagai tumpuan kaki untuk menyeberang. Setelah batu itu dibersihkan dengan air, ternyata memang sebongkah batu emas yang bersinar-sinar terkena sinar matahari. Dengan gembira lalu dibawanya batu itu pulang ke rumah. Namun, di tengah perjalanannya lagi-lagi ia mendengar percakapan burung gagak.

“Anak gadis orang kaya di desa ini benar-benar kasihan ya. Sudah berpuluh-puluh tabib didatangkan untuk menyembuhkan penyakitnya namun tak kunjung sembuh juga. Sebenarnya sakit yang diderita anak gadisnya itu bukan sakit biasa. Ketika membangun atap rumah baru, secara tidak sengaja ada seekor ular yang salah masuk ke dalam atap. Jadinya sampai sekarang ular tersebut tidak juga bisa keluar dan hampir sekarat. Kalau saja ular tersebut dapat dikeluarkan dari dalam atap itu, mungkin anak gadisnya akan segera sembuh” kata sang burung gagak. Mendengar percakapan burung gagak itu, sang pemuda segera pulang.

Keesokan harinya, ia berkunjung ke rumah orang kaya di desa itu. Di depan pintu gerbangnya tertulis, “Siapa saja yang ingin menyembuhkan anak gadisku silakan masuk.” Karena itu sang pemuda masuk dan berkata kepada orang kaya pemilik rumah itu, “Perkenankan saya mencoba menyembuhkan sakit anak gadis tuan!” kata sang pemuda. Setelah melihat kondisi anak gadis itu, sang pemuda teringat pada percakapan burung gagak kemarin.

“Tuan, sesungguhnya sakit yang diderita anak gadis tuan ini bukan sakit biasa. Hal ini disebabkan oleh seekor ular yang sedang terperangkap di atap rumah tuan. Ular tersebut kini sedang sengsara hidupnya sehingga kehidupan seluruh penghuni rumah ini juga sengsara, terutama anak gadis tuan. Maka kalau ular tersebut tidak segera dikeluarkan, sakit anak gadis tuan mungkin juga tidak akan sembuh!” kata sang pemuda menjelaskan.

Mendengar perkataan sang pemuda, orang kaya tersebut segera memerintahkan para pelayannya untuk membongkar atap rumahnya dan mencari ular yang sedang terperangkap di dalamnya. Dan ternyata benar. Seekor ular yang sedang sekarat pun ditemukan. Kemudian dibasuhlah ular itu dengan air dan diberinya makan telur agar cepat sembuh. Perlahan-lahan keadaan ular pun membaik. Bersamaan dengan itu anak gadisnya pun sudah mulai sembuh dari sakitnya. Bukan main gembiranya hati ayahnya. Maka dinikahkannya anak gadisnya itu dengan sang pemuda. Mereka pun akhirnya hidup dengan bahagia.

——————————————————————————–

Judul asli: Kikimimi Zukin (Tudung Kepala yang Bisa Mendengar) berasal dari Prefektur Niigata.
http://dongengjepang.wordpress.com/2008/02/06/tudung-kepala-ajaib/

 
Konon, hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai tiga anak gadis yang cantik dan belum menikah. Suatu ketika, saudagar tersebut pergi jalan-jalan menengok sawahnya. Tiba-tiba, di pematang sawah, ia melihat seekor ular memangsa seekor katak. Katak itu menjerit kesakitan. “Kiik.. kiik…” begitulah suara jeritannya. Karena merasa kasihan, maka sang saudagar berseru kepada sang ular. “Wahai ular, tolong lepaskan katak itu. Aku punya tiga orang anak gadis. Kalau kau melepaskan katak itu aku akan memberikan seorang dari mereka untuk jadi istrimu” kata sang saudagar. Mendengar perkataan tersebut, ular pun melepaskan mangsanya dan pergi ke semak-semak. Lama setelah kejadian itu, sang saudagar pun lupa terhadap janjinya.

Sampai pada suatu hari, datanglah seorang samurai muda yang gagah dan tampan menemui sang saudagar di rumahnya. Samurai tersebut lalu memperkenalkan diri.

“Saya adalah jelmaan dari ular. Saya datang untuk menagih janji menikahi salah seorang anak gadis Anda” kata sang samurai.

Mendengar perkataan itu, sang saudagar teringat kembali janjinya yang dulu. Akhirnya ia meminta agar sang samurai datang kembali pada waktu yang dijanjikan. Dan sang samurai pun menerima hal itu. Ia akan datang lagi untuk menjemput pengantinnya.

Berhari-hari sang saudagar tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan perjanjiannya dengan sang ular. Akhirnya suatu pagi, anak-anak gadisnya berkumpul dan bertanya kepada ayahnya.

“Ayah, akhir-akhir ini engkau kelihatan kurang sehat. Ada masalah apa?” tanya salah seorang anak gadisnya.

Sang ayah pun akhirnya menceritakan permasalahan yang dialaminya kepada anaknya. Mendengar penjelasan ayahnya, mereka semua terdiam. Anak pertama dan kedua menolak menjadi pengantin sang ular. Namun anak terakhir bersikap lain.

“Baiklah, aku tidak akan mengecewakan ayah. Aku bersedia menjadi pengantin ular itu!” katanya dengan tenang. Sang ayah pun lega dibuatnya.

Akhirnya, hari pernikahan pun tiba. Sang anak bungsu minta agar ia dibekali beberapa labu panjang dan jarum tenun. Setelah itu, sang pengantin pria membawa pengantin wanita pulang ke rumahnya. Rumah pengantin pria berada di balik bukit. Beberapa lama kemudian, mereka sampai di sebuah kolam yang besar.

“Ini adalah rumahku. Silakan kau dulu yang masuk ke dalam air!” kata pengantin pria.

Tetapi sang pengantin wanita menolak dengan halus. “Barang bawaanku banyak. Tolong kau dulu yang masuk dengan membawakan barang-barangku tersebut” kata sang pengantin wanita.

Demikianlah, akhirnya pengantin pria dengan membawa barang-barang milik pengantin wanita, masuk ke dalam kolam. Ketika masuk ke kolam, labu panjang yang ia bawa menyembul ke permukaan kolam beberapa kali. Saat ia memasukkan beberapa labu itu, labu lainnya menyembul lagi ke permukaan. Sang pria pun merasa jengkel, labu-labu itu akhirnya mengapung semua ke permukaan kolam. Karena terlalu lelah, perlahan-lahan tubuh pria itu berubah menjadi wujud aslinya, yaitu ular. Ular itu naik ke tanggul kolam dan tertidur disana. Melihat bahwa ular sedang tertidur pulas, pengantin wanita itu segera mengeluarkan jarum tenunnya. Ia lalu menancapkan jarum tenunnya ke atas kepala hingga ekor sang ular. Ular itu pun mati.

Setelah berhasil membunuh sang ular, anak gadis itu segera pergi dari kolam. Namun karena hari sudah gelap, ia tersesat di dalam hutan. Setelah berjalan menyusuri hutan, ia menemukan sebuah pondok kecil. Pondok tersebut dihuni oleh seorang nenek tua. Selama beberapa lama sang gadis menginap di pondok itu. Sampai pada suatu hari, sang nenek bercerita bahwa dia sebenarnya adalah penjelmaan dari katak yang pernah ditolong oleh ayah sang gadis. Karena ingin membalas budi ayahnya, ia pun ingin menolong anak gadisnya. Sang nenek menyarankan agar sebelum kembali ke rumahnya, ia bekerja dulu di rumah seorang saudagar kaya di dekat desa. Namun karena jarak ke desa terdekat itu agak jauh, sang nenek pun khawatir kalau anak gadis secantik itu akan diganggu oleh orang jahat selama dalam perjalanannya nanti. Sang nenek memberikan sebuah pakaian dari kulit untuknya.

“Pakailah pakaian dari kulit ini, agar bisa menyamarkan kecantikanmu” kata sang nenek sambil menyerahkan sebuah pakaian yang terbuat dari kulit katak yang kasar.

“Dengan memakai pakaian kulit itu, kecantikanmu akan tersembunyi. Hal itu lebih baik agar kamu tidak diganggu oleh orang-orang jahat nantinya” kata sang nenek.

“Rumah saudagar itu sedang membutuhkan pembantu untuk mengurus dapur dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Bekerjalah disana untuk beberapa waktu!” saran sang nenek.

Setelah mengenakan pakaian dari kulit itu, sang gadis berubah menjadi seorang nenek yang kulitnya sudah berkeriput. Ketika sampai di rumah sang saudagar, ia menemui sang pemilik rumah dan memohon agar ia diterima sebagai pembantu rumah tangganya. Demikianlah, sejak saat itu sang gadis bekerja di rumah itu. Setiap hari ia harus bangun pagi, menanak nasi dan membersihkan rumah besar tersebut.

Pada suatu hari, ketika para anggota keluarga sedang pergi menonton rombongan pemain sandiwara di balai desa, sang gadis tinggal sendirian di rumah. Karena tidak ada seorang pun di rumah, maka ia melepaskan pakaian kulitnya. Sudah lama ia ingin melihat dirinya yang sebenarnya. Ia melihat wajahnya di kaca. Ternyata tidak ada yang berubah. Ia tetap cantik seperti sebelum memakai pakaian kulit pemberian sang nenek. Pada saat itu, seorang anak pria putra bangsawan datang ke rumah untuk mengambil sesuatu. Karena di rumah tidak ada seorang pun ia menjadi penasaran. Ia sangat terkejut ketika melihat sesosok gadis yang cantik jelita berada di dalam kamar. Putra bangsawan itu pun jatuh hati kepada sang gadis.

Beberapa hari kemudian, sang pemuda jatuh sakit. Berhari-hari ia tidak mau makan. Tubuhnya sangat lemah. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Ketika seorang tabib datang memeriksa, ketahuan bahwa sakit yang diderita sang putra bangsawan tersebut dikarenakan cinta. Pemuda tersebut telah jatuh cinta pada seorang gadis yang pernah dilihatnya. Namun karena gadis tersebut tidak ia temukan lagi, maka ia pun jatuh sakit. Keluarganya pun sangat kebingungan, nenek pembantu rumah tangga pun menyadari bahwa gadis yang dilihat oleh putra bangsawan tersebut pasti adalah dirinya ketika ia melepas pakaian kulitnya beberapa waktu yang lalu. Karena merasa kasihan, ia pun melepaskan pakaian kulitnya lagi dan menemui putra bangsawan yang sedang sakit tersebut. Melihat wajah cantik jelita itu, sang pemuda tersenyum dan sakitnya pun berangsur-angsur sembuh kembali. Demikianlah, akhirnya sang gadis dinikahkan dengan putra bangsawan tersebut. Mereka hidup dengan bahagia.

Setelah beberapa lama menikah timbul kerinduannya terhadap ayah dan kedua saudarinya. Ia pun meminta agar suaminya mengantarkan pulang ke rumah orang tuanya. Orang tua sang gadis yang semula mengira bahwa putri bungsunya tidak akan pernah kembali lagi, merasa sangat bahagia ketika bertemu kembali. Mereka terharu mendengar cerita pengorbanan putri bungsunya. Sejak saat itu mereka bisa berkumpul kembali dan hidup dengan bahagia.

——————————————————————————–

Judul asli: Hebi no Yomeiri (Pengantin Perempuan Ular) berasal dari Prefektur Hyogo.

Antonius R. Pujo Purnomo, M.A. TANABATA Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007

 
Dahulu kala ada seorang petani yang bernama Kumazo. Kumazo adalah petani yang rajin bekerja. Ia berbadan tinggi besar dan disegani banyak tetangga. Suatu hari, dengan memikul bakul di pundaknya Kumazo pergi ke ladangnya. Hari ini ia akan memberi pupuk pada tanamannya agar tumbuh dengan subur. Namun, saat ia sedang asyik menyebarkan pupuknya tiba-tiba terdengar suara desisan yang sangat keras. Dan hampir bersamaan dengan itu muncullah dari arah bukit seekor ular raksasa yang panjangnya mencapai 6-7 meter. Kumazo sangat terkejut. Ia merasa tidak pernah mempermainkan ular, namun entah kenapa ada induk ular yang datang menemuinya. “Aduh, kenapa ada ular sebesar ini datang kemari ya?” katanya dengan gemetar.

Ia lalu meraih gagang pikulnya dan secepatnya lari meninggalkan ladang. Namun belum sampai ia lari jauh, tiba-tiba kakinya terantuk gundukan tanah di ladang. Dan ular raksasa pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan menjulur-julurkan lidahnya yang berwarna merah, ia mulai mendekati tubuh Kumazo. Kumazo tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus mengayun-ayunkan pikulnya agar sang ular tidak bisa mendekatinya. Tiba-tiba, gagang pikul Kumazo pun patah. Saat itu juga sang ular langsung membelit tubuh Kumazo.

“Tu.. tunggu sebentar. Lepaskan aku!” teriak Kumazo.

Ular itu diam sejenak. “Ada apa?” pikirnya.

“Tunggu sebentar. Lepaskan aku dulu. Aku harus kembali ke rumahku dulu untuk berpamitan kepada keluarga. Setelah itu aku berjanji akan segera kemari untuk menyelesaikan pertarungan kita” kata Kumazo untuk meyakinkan ular tersebut.

Sejenak ular tersebut terdiam. Namun seolah-olah mengerti perkataan Kumazo, ia pun melepaskan belitannya. Setelah terlepas dari belitan, Kumazo mengucapkan terima kasih lalu berlari pulang menuju desanya. Sementara itu, sang ular melingkarkan tubuhnya sambil menunggu kedatangan Kumazo kembali.

Kumazo berlari-lari sambil berteriak-teriak kepada penduduk desa. “Ada ular raksasa di ladang!” teriaknya. Mendengar teriakan itu, para penduduk desa segera mengambil senjata tajam masing-masing. Ada yang membawa pedang, golok, tombak, dan pentungan kayu. Mereka pun beramai-ramai menuju ladang tempat Kumazo bertemu dengan ular. Namun setelah mereka tiba di ladang mereka tidak menemukan ular raksasa itu.

“Hei, Kumazo. Mana ular raksasa yang kau sebutkan itu?” tanya para penduduk dengan tidak sabar.

“Tadi ada disini kok!” kata Kumazo sambil menunjukkan bekas-bekas pertarungannya.

“Iya, benar. Ini ada jejak ular yang besar” kata salah seorang penduduk sambil menunjukkan tanah bekas tempat ular melingkarkan tubuhnya.

Para penduduk lalu menyisir ladang dan bukit di dekatnya. Mereka membabat rumput maupun ilalang disekitarnya. Namun tak juga mereka temukan ular raksasa itu. Setelah mendengar cerita Kumazo itu, para penduduk lebih berhati-hati ketika bekerja di ladang. Mereka juga mengingatkan anak-anaknya untuk tidak lagi mengganggu ular.

——————————————————————————–

Judul asli: Daija to Tatakatta Otoko (Laki-laki yang Bertarung dengan Ular Raksasa) berasal dari Prefektur Kumamoto.

Antonius R. Pujo Purnomo, M.A. KAGUYA-HIME Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007

 
Pada jaman dahulu kala, di sebuah desa ada seorang pemuda yang rajin dan baik hati. Suatu hari, ketika sang pemuda hendak pergi untuk bekerja, ia melihat beberapa anak sedang mencoba menangkap seekor belut putih. Di tangan mereka tergenggam tongkat kayu yang sekali-kali diayunkan untuk memukul belut tersebut. Sejenak sang pemuda berhenti dan mendekati anak-anak tersebut. Karena merasa kasihan, sang pemuda berkata kepada anak-anak itu, “Jangan mengganggu binatang. Belut itu juga makhluk hidup seperti kita. Biarkan dia pergi!”. Anak-anak itu pun berhenti seketika. Dengan perasaan dongkol mereka pun pergi meninggalkan tempat itu. Demikian juga sang belut pergi ke arah genangan air di sawah. Sang pemuda pun pergi melanjutkan perjalanannya.

Malam harinya, ketika sang pemuda hendak bersiap-siap untuk tidur, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. “Tok.. tok”. Sang pemuda heran, tidak biasanya malam-malam begini ada tamu yang datang ke rumahnya. Akhirnya ia pun membuka pintu rumahnya. Bukan main terkejutnya sang pemuda, ternyata di hadapannya telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita.

“Selamat malam. Mohon maaf sebelumnya. Saya sedang tersesat dan kemalaman di jalan. Bolehkah saya menumpang istirahat barang satu malam di rumah tuan?” pinta sang gadis.

“Silakan masuk!” kata sang pemuda dengan gugup. Malam itu sang gadis pun menginap di rumah sang pemuda.

Keesokan paginya, sang gadis berkata kepada sang pemuda, “Sebenarnya saya sudah tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara lagi. Saya hidup sebatang kara dan tidak punya rumah untuk pulang. Tolong ambil saya sebagai istri tuan. Saya akan bekerja keras setiap hari untuk membantu tuan” kata sang gadis. Mendengar hal itu sang pemuda merasa iba. Akhirnya ia dan gadis itu menikah. Mereka hidup dengan bahagia dan dikaruniai seorang bayi laki-laki yang lucu.

Pada suatu hari, pekerjaan sang pemuda di ladang telah selesai lebih cepat dari hari-hari sebelumnya. Ia pun berniat pulang lebih cepat dari biasanya. Ketika sampai di rumah, ia melihat suasana sangat sepi dan pintu rumah juga terkunci rapat. Karena merasa curiga maka ia coba melihat keadaan di dalam rumah dari jendela di kamarnya. Bukan main terkejutnya saat sang pemuda melihat pemandangan di dalam kamarnya. Ia melihat seekor binatang yang menyerupai belut  sedang melingkarkan tubuhnya di lantai kamar. Di tengah-tengahnya tergeletak sang bayi. Lidah binatang yang berwarna merah itu menjulur menjilati tubuh sang bayi. Anehnya sang bayi justru merasa senang dan tidak takut. Sang pemuda sangat ketakutan dan lari menginggalkan rumahnya. Ia berpikir bahwa belut besar di kamarnya tadi tidak lain adalah jelmaan istrinya sendiri. Namun untuk memastikan dugaannya itu, sore harinya ia kembali pulang ke rumahnya. Sesampai di depan rumahnya ia melihat istrinya sedang menggendong sang bayi. Seperti tidak terjadi apa-apa ia lalu makan malam bersama sang istri.

Namun, sang istri ternyata tahu bahwa suaminya telah melihat wujud aslinya. Sang istri pun berkata, “Suamiku, akhirnya engkau telah melihat wujud asliku siang tadi. Sebenarnya aku adalah jelmaan belut yang telah kau tolong dari gangguan anak-anak setahun yang lalu. Aku ingin sekali membalas budimu. Namun, karena engkau telah melihat wujud asliku, maka aku tidak dapat hidup lagi bersamamu. Aku harus pergi. Tapi bayi kita adalah bayi manusia, maka engkau harus memeliharanya dengan baik” kata sang istri sedih. Kemudian ia mengeluarkan sebuah bola putih kecil dan memberikannya kepada suaminya.

“Kalau bayi kita menangis karena haus atau lapar berikan bola ini agar ia dapat menghisapnya. Ia tidak akan menangis lagi” kata istrinya berpesan.

Setelah mengatakan hal itu, sang istri pun pergi keluar rumah. Sang suami dengan sedih mencari-carinya, namun sang istri sudah lenyap di kegelapan malam.

Sejak saat itu sang suami membesarkan bayinya seorang diri. Sesuai pesan istrinya, ia membiarkan sang bayi menghisap dan mengulum bola putih yang lentur itu. Bayi itu terus tumbuh dengan sehatnya. Tidak pernah sekalipun sang bayi jatuh sakit. Kehebatan bola putih itu terdengar ke seluruh wilayah, hingga sampai ke telinga sang penguasa wilayah. Akhirnya bola putih itu pun diambil secara paksa oleh sang penguasa. Dan sejak saat itu juga sang bayi mulai mengangis tak henti-hentinya. Bukan main bingungnya sang suami. Ia pun berjalan menyusuri hutan untuk mencari istrinya. Setelah lama berjalan, akhirnya ia tiba di sebuah danau. Dengan putus asa ia berteriak.

“Wahai istriku, sejak kepergianmu sungguh merana hidupku. Kalau memang engkau ada disini, tunjukkanlah dirimu. Aku ingin berjumpa denganmu!” katanya dengan pilu.

Tiba-tiba permukaan air danau tersebut bergelombang, dan dari dalamnya mucul seekor belut yang sangat besar.

“Apa kabar suamiku? Apa yang membuatmu bersedih hati?” tanya belut tersebut. Akhirnya sang suami menceritakan tentang bola putih pemberian istrinya yang telah diambil oleh sang penguasa.

“Suamiku, bola putih itu sebenarnya adalah bola mataku sendiri. Ia berguna sebagai pengganti air susu bagi bayi kita. Kalau aku berikan bola mata satu lagi, aku tidak akan bisa melihat lagi” kata sang belut.

“Tolonglah istriku, anak kita menangis tiada henti-hentinya” kata sang suami.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan berikan bola mata yang satunya. Tapi kau harus berjanji. Agar bola mata ini tidak diambil orang lain, bawalah bayi kita dan pergi jauh-jauh dari desa” kata sang belut sambil memberikan sebutir bola putih.

“Terima kasih istriku. Jagalah baik-baik dirimu!” ucap sang suami dengan meneteskan air mata.

“Jagalah dirimu dan rawat baik-baik anak kita!” kata sang belut.

Setelah mengucapkan salam perpisahan, sang belut kembali ke dasar danau, dan suaminya pun pulang dengan hati yang sangat sedih.

Setelah sampai di rumahnya, ia segera mengumpulkan barang perbekalannya lalu pergi meninggalkan desa tersebut bersama sang anak yang masih kecil. Beberapa waktu kemudian di wilayah desa tersebut timbul gempa bumi yang sangat hebat. Semua bangunan hancur, termasuk istana sang penguasa yang telah mengambil paksa bola mata milik sang belut. Sang penguasa sendiri pun mati akibat tertimpa reruntuhan bangunannya. Demikianlah, menurut kepercayaan tradisional masyarakat Jepang, gempa bumi diakibatkan oleh belut raksasa yang bergerak di dalam tanah. Belut itu menabrak benda di sekelilingnya karena tidak mempunyai mata lagi untuk melihat.

—————————————————————————–

Judul asli: Mekura no Mizu no Kami (Dewi Air yang Tidak Bisa Melihat) berasal dari Prefektur Saga.

Antonius R. Pujo Purnomo, M.A. TANABATA Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007

 
Suatu hari ada seekor kucing besar dan seekor kucing kecil. Dua ekor kucing tersebut menemukan dua buah onigiri. Kucing yang besar menemukan onigiri kecil, sedangkan kucing yang kecil menemukan onigiri besar. Karena hanya mendapatkan onigiri yang kecil, kucing besar itu berkata kepada kucing yang kecil.

“Hei, kucing kecil. Lihatlah, badanmu kan kecil kenapa kamu mau makan onigiri yang besar? Ayo tukarkan dengan onigiriku saja” kata kucing besar.

“Enak saja. Aku kan yang menemukan onigiri besar ini, jadi walaupun badanku kecil aku berhak makan onigiri besar” kata kucing kecil.

“Heh, dimana-mana itu kalau kucing kecil makannya ya sedikit. Kalau kucing besar makannya ya banyak. Kok begitu saja kamu tidak tahu sih?”

“Nah, aku kini tahu akal bulusmu. Kamu khawatir kan kalau aku makan onigiri besar ini badanku akan menjadi besar. Kalau badanku besar, kamu takut kalah saingan kan?”

“Bukan begitu. Tapi wajarnya karena badanmu kecil, ya makanmu juga sedikit saja. Nanti kalau makan kebanyakan perutmu akan sakit”

“Ah, kamu ini mau mencoba membujukku ya? Pokoknya aku gak mau!”

Karena tidak ada yang mau mengalah, akhirnya kedua kucing itu saling bertengkar. Pada saat bertengkar itu, kucing besar mendapatkan ide.

“Begini saja, bagaimana kalau kita pergi bertanya kepada kera. Mungkin dia mempunyai pendapat yang lebih bagus” kata kucing besar.

“Baiklah aku setuju” kata kucing kecil.

Akhirnya dengan menggelindingkan onigiri di sepanjang jalan, mereka pergi menemui kera. Kedua kucing itu lalu menceritakan persoalan yang sedang mereka hadapi.

“Hmm… sulit juga ya. Tapi kalau menurut pendapatku, bagaimana kalau dua onigiri ini dibagi rata hingga mencapai besar yang sama?” tanya kera.

“Baik, saya setuju”

“Saya juga setuju”

“Baiklah, sementara aku menimbang berat onigiri ini, kalian pergilah sedikit menjauh”

Akhirnya kera memegang dua buah onigiri itu di tangan kanan dan kirinya. Ia mencoba menimbang-nimbang dengan tangannya.

“Hmm… kok berat yang kanan ya?” kata kera seraya mengambil sedikit bagian onigiri di tangan kanannya lalu memakannya.

Kera lalu menimbang-nimbang lagi.

“Kok terasa berat yang kiri ya?” katanya lagi seraya mengambil sedikit bagian onigiri dari tangan kirinya lalu memakannya.

Kera terus menimbang-nimbang berat onigiri itu. Namun ia tetap tidak bisa merasakan berat onigiri yang sama. Sampai akhirnya dua buah onigiri itu pun habis dimakannya sedikit demi sedikit. Melihat kedua onigiri mereka habis, kedua kucing itu pun sangat kecewa. Mereka pulang sambil menangis tersedu-sedu. Miauww…

Judul asli: Futatsu no Omusubi (Dua Buah Omusubi) berasal dari Prefektur Fukuoka.

dikutip dari: KAGUYA-HIME Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007

 
Pada zaman dahulu, di sebuah desa kecil hiduplah seorang pemuda miskin. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya pemuda tersebut menjual gerabah. Setiap hari ia berjalan dari kampung ke kampung untuk menawarkan gerabah buatannya. “Gerabah… gerabah…!!!” teriaknya setiap hari. Meskipun sangat berat dan melelahkan tetapi sang pemuda selalu riang gembira menawarkan barang dagangannya. Pada suatu hari yang panas, sang pemuda berjalan menyusuri tepi sebuah danau yang jernih. “Ah, hari ini melelahkan sekali” katanya sambil meletakkan bakulnya di tepi danau tersebut dan mengusap peluh yang menetes di dahinya. Sang pemuda membasuh muka dan minum beberapa tangkup air yang diambil dengan tangannya. “Ah, segarnya…” katanya dengan senang.

Sang pemuda hendak melanjutkan perjalanan ketika sayup-sayup terdengar suara perempuan yang sedang bercanda ria dari arah danau. “Suara siapa ya?” tanyanya dalam hati. Dengan penuh konsentrasi dia coba tajamkan pendengarannya serta dipicingkannya matanya untuk mencari sumber suara tersebut. Ternyata suara tersebut memang berasal dari beberapa wanita yang sedang mandi di tepi danau. Melihat wanita cantik yang sedang mandi itu, hati sang pemuda menjadi berdebar-debar karena malu. Ketika ia sedang mencari tempat persembunyian agar tidak terlihat oleh para wanita itu, ia melihat beberapa helai pakaian yang sangat halus dan indah warnanya. Mungkin itu adalah pakaian para wanita yang sedang mandi. Akhirnya timbullah pikiran jahat sang pemuda untuk mengambil sebuah pakaian mereka. Lalu pakaian itu disembunyikannya dalam bakulnya. Sang pemuda lalu pergi menjauh dari tempat itu.

Menjelang senja, sang pemuda kembali lagi melewati danau tersebut untuk melihat-lihat apakah ada wanita-wanita cantik yang tadi sedang mandi masih ada atau sudah pergi. Betapa terkejutnya ia ketika melihat dari balik pohon di tepi danau seorang wanita yang cantik jelita tanpa berpakaian selembar pun sedang menangis seorang diri. Dengan hati berdebar-debar sang pemuda mendekati gadis itu.

“Hai, kenapa engkau menangis?” tanya sang pemuda.

“Pakaianku dicuri orang! Aku tak bisa pulang tanpa pakaian itu” jawab sang gadis.

Sang pemuda jadi merasa kasihan melihat gadis itu menangis, sejenak timbul niatnya untuk mengembalikan pakaian yang telah diambilnya tadi. Tapi, karena baru pertama kali ia melihat gadis secantik itu, maka timbul niatnya untuk mengajak sang gadis ikut pulang ke rumah bersamanya. Sang gadis pun sangat berterima kasih atas kebaikan sang pemuda untuk mengajaknya pulang ke rumah.

Karena sang gadis tidak punya tempat tujuan lainnya di dunia ini maka ia memutuskan untuk tinggal bersama sang pemuda. Mereka pun akhirnya menikah. Beberapa waktu kemudian sang gadis yang kini telah menjadi istrinya, melahirkan seorang anak. Kehidupan mereka pun menjadi semakin bahagia.

Pada suatu hari, seperti biasanya sang suami pergi bekerja, sedangkan sang istri tinggal di rumah untuk memasak dan bermain dengan anaknya yang masih bayi. Hari itu tidak seperti biasanya, sang bayi menangis dengan keras, hingga sang ibu harus bersusah payah untuk menidurkannya. Ketika anaknya sedang tertidur pulas, tanpa disadarinya mata sang ibu tertuju pada sebuah benda aneh yang digantung di langit-langit rumahnya. Benda apa itu ya? Karena penasaran, maka diambilnya tangga untuk mengambil benda yang sedang tergantung di atas. Ternyata benda itu adalah sebuah bungkusan kain. Perlahan-lahan dibukanya bungkusan itu dan… “Oh, ini pakaianku yang selama ini aku cari. Ternyata suamiku sendiri yang telah menyimpannya!” katanya dengan sedih bercampur gembira. Segera dipakainya pakaian itu. Dan dengan menggendong anaknya yang masih tertidur pulas itu, ia hendak terbang ke angkasa. Bersamaan dengan itu suaminya pulang ke rumah. Melihat istrinya mengenakan pakaian itu suaminya menjadi sedih dan khawatir.

“Istriku, hendak pergi kemana engkau?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.

“Suamiku, aku telah menemukan pakaian yang selama ini aku cari. Sesungguhnya aku adalah bidadari dari langit. Dan kini saatnya aku harus kembali ke langit. Karena disanalah tempatku!” kata sang istri sambil perlahan-lahan melayang ke udara.

“Istriku, jangan tinggalkan aku!” teriak sang suami dengan memohon.

“Kalau engkau ingin menemui aku, buatlah seribu pasang sandal jerami, lalu pendamlah dalam tanah di hutan bambu yang tinggi. Panjatlah pohon bambu itu hingga mencapai kerajaan langit. Nanti kita akan dapat bertemu lagi. Sampai jumpa…” kata istrinya dengan mata berkaca-kaca karena sedih berpisah dengan suaminya. Dan perlahan-lahan sang istri pun naik ke atas langit hingga hilang di balik awan putih.

Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, sang suami segera mengumpulkan jerami sebanyak-banyaknya dan tanpa kenal lelah bekerja siang malam untuk membuat seribu pasang sandal jerami. Akhirnya sang suami berhasil membuat 999 pasang sandal, tetapi karena sudah tidak sabar ingin menemui istri dan anaknya segera diangkut ke-999 sandal jerami tersebut dan dikubur dalam hutan bambu. Tiba-tiba dari dalam timbunan sandal jerami tersebut tumbuhlah sebatang pohon bambu yang menjulang tinggi ke angkasa. Sang suami pun menaiki pohon bambu tersebut sampai ke ujungnya. Tetapi karena sandal jerami yang dibuatnya kurang satu pasang, maka sang suami tidak bisa mencapai kerajaan langit yang hanya kurang satu lengan saja. Betapa pun tangan sang suami menggapai-gapai tidak juga sampai ke kerajaan langit. Maka ia pun berteriak sekencang-kencangnya untuk memanggil sang istri. “Istriku… aku datang untuk menemuimu. Keluarlah!”

Teriakan sang suami pun akhirnya sampai juga ke telinga sang istri. Diulurkannya lengan sang istri untuk menjangkau lengan suaminya. Akhirnya sang suami berhasil juga menginjakkan kaki di kerajaan langit. Setelah itu mereka berdua menghadap ke dewa langit yang juga ayah sang istri. Tetapi karena pada dasarnya kerajaan langit tidak menyukai adanya hubungan antara manusia dan dewa, maka dengan cara apapun ayah dan ibu istrinya memisahkan hubungan anaknya dengan manusia.

Suatu hari sang ayah memerintahkan suami anaknya untuk mengambil air tanpa tumpah sedikitpun dengan keranjang yang banyak lubangnya. Tentu saja hal tersebut mustahil. Dalam kebingungannya sang istri menolong sang suami dengan membawakan kertas minyak untuk menutupi keranjang yang berlubang-lubang itu. Sewaktu ayah sang istri melihat bahwa keranjang tersebut mampu menampung air, ia sangat terkejut.

“Ternyata manusia juga mempunyai kepandaian!” katanya dengan bersungut-sungut. Sejenak hati sang suami lega, tetapi hal itu belumlah berakhir.

Saat itu adalah saat musim panas. Di kerajaan langit, makan buah semangka adalah suatu pantangan yang tidak boleh dilakukan karena akan menimbulkan suatu bencana. Namun, karena sang ibu ingin memisahkan anak gadisnya dari suaminya, maka ia memerintahkannya untuk memetik semangka di kebun.

“Belah dan bawa kemari buah semangka dari kebun!” perintah sang ibu.

Karena ia pikir memetik dan membelah buah semangka bukanlah merupakan pekerjaan sulit, maka tanpa banyak basa-basi sang suami langsung pergi ke kebun untuk mengambil buah semangka. Dipotongnya buah semangka tersebut dengan hati-hati. Tetapi selanjutnya apa yang terjadi? Dari dalam buah semangka yang terbelah itu mengalirlah air bah dengan derasnya. Sang suami terseret arus air tersebut tanpa bisa berbuat apa-apa. “Tolong… tolong!” teriak sang suami. Ayah dan ibu sang istri tertawa senang melihat suami anaknya terseret arus air yang telah berubah menjadi sungai yang besar. Istrinya yang baru menyadari terjadinya bencana tersebut segera pergi ke tepi sungai tersebut. Namun ia terlambat. Suaminya telah terbawa arus sungai yang jauh. Ia sangat sedih. Ia pun berteriak, “Suamiku! Kita akan bertemu setiap tanggal tujuh! Tujuh…!”

Tetapi karena suaminya semakin menjauh, maka yang terdengar oleh suaminya hanya angka “tujuh”.

Aliran sungai di kerajaan langit tersebut dinamakan sungai Amanogawa. Setiap tanggal tujuh tiap bulannya, sang istri selalu menunggu kedatangan sang suami di tepi sungai Amanogawa. Tetapi berbulan-bulan ditunggunya suaminya tidak muncul-muncul juga. Akhirnya suaminya datang untuk menemui sang istri tercinta pada tanggal 7 bulan 7 (Juli). Sang suami hanya mendengar angka tujuh dan tujuh, jadi pikirnya bertemu pada tanggal tujuh bulan tujuh. Sejak saat itu mereka hanya dapat bertemu satu kali dalam setahun yaitu pada tanggal 7 Juli. Sampai saat ini tanggal 7 Juli diperingati sebagai Festival Tanabata di Jepang. Di hari itu, masyarakat Jepang menggantungkan kertas kecil warna-warni berisi berbagai macam permohonan di ranting pohon bambu dengan harapan agar permohonan tersebut dapat terkabulkan.

Dongeng Tanabata ini berasal dari Prefektur Kagawa. Tema kisah cinta yang tragis ini memberikan inspirasi bagi masyarakat tradisional Jepang untuk menjadikan kedua tokoh dalam cerita itu sebagai dewa-dewi yang dapat mengabulkan segala permohonan mereka, terutama hal-hal yang berhubungan dengan cinta asmara. Nilai-nilai positif yang dapat diambil antara lain adalah ketulusan cinta tidak akan pernah mati walaupun diterpa berbagai macam rintangan.

dikutip dari: Antonius R. Pujo Purnomo, M.A. TANABATA Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007